Sabtu, 21 Desember 2013

Komunikasi dalam Pengasuhan Anak

Beberapa waktu lalu, saya diundang menjadi pembicara di sebuah TK, di Bekasi. Mencoba menggabungkan antara ilmu komunikasi yang selama ini saya pelajari dan pengasuhan anak, saya membahas tentang "Komunikasi dalam Pengasuhan Anak". Ada beberapa prinsip dasar yang bisa kita terapkan agar komunikasi antara orangtua dan anak, bisa berjalan dengan baik.

Prinsip pertama

Anak akan percaya pada orangtua jika orangtua bisa menjadikan dirinya sebagai orangtua yang bisa dipercaya.
Contoh: ketika seorang ayah berjanji ingin pulang sore, harus ditepati. Kalau ia sering melanggar bisa jadi anak akan kehilangan kepercayaan.

Prinsip kedua

Ketika kita mengajak anak bicara, pesan yang harus disampaikan sebaiknya tunggal. Jangan kebanyakan sehingga anak tidak bingung.
Ini juga bisa diaplikasikan untuk program-program untuk anak. Misal, program buang sampah pada tempatnya. Fokus di program itu jika sudah berjalan baik lalu melangkah ke program berikutnya.

Prinsip ketiga
Konsisten dan diulang
Sesuatu yang kerap dilakukan akan diingat oleh anak.

Contoh :
Soal jajan. Terkait dengan jajan, akan saya bahas di postingan selanjutnya :) 

Prinsip keempat
Pesan yang disampaikan orang tua bisa sampai ke anak ketika mereka dalam keadaan rileks. Terlebih jika kita melakukannya dengan sentuhan. 

Prinsip kelima
Peka dan melihat bahasa tubuh yang disampaikan anak. Komunikasi tidak hanya dilakukan oleh kata-kata tetapi bisa dengan bahasa tubuh seperti tatapan mata, ekspresi wajah dan sebagainya.  

Prinsip keenam
Komunikasi harus berjalan dua arah. Tidak hanya dari orangtua ke anak, tapi juga anak ke orangtua. Biarkan mereka mengekspresikan kekesalannya, unek-uneknya, tentang kita.
Bagaimanapun, orangtua adalah juga manusia, yang tak luput dari kesalahan.

Selamat Hari Ibu. Semoga Allah memberikan kita kesabaran dalam mengasuh anak-anak kita.

Salam hangat,
Aprilina Prastari
Penulis buku keluarga dan komunikasi

Selasa, 17 Desember 2013

77 Kesalahan Orangtua yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak

Ada kesalahan-- yang kelihatannya sepele tapi bisa berakibat fatal-- yang saya lakukan ketika puteri saya Wafa masih berusia 3 hari. Hari itu, sepulang dari rumah sakit, mertua saya menjenguk ke rumah. Beliau lalu berinsiatif ingin memandikan Wafa. Saya tentu sangat antusias membantu. Saya siapkan alas untuk mandi, sabun, dan tak lupa air panas dalam bak mandinya. Tadinya, saya mau langsung menambahkan air dingin ke dalam baknya, tapi urung. Saya pikir, ah nanti saja kalau mau dibilas, supaya tetap hangat.

Saya pun melihat mertua saya memandikan Wafa sambil mengamati wajah mungilnya. Dan ketika hendak dibilas. "Lho kok airnya masih panas" kata mertua saya, hampir saja ingin mencelupkan badan Wafa ke dalam air.

"Astaghfirulloh!" saya berteriak kaget. Segera saya tuang air dingin dan ... lemas! Tak bisa dibayangkan bagaimana jika mertua langsung memasukkan Wafa ke dalam bak mandi. Alhamdulillah, Allah Maha Melindungi. Sejak itu, saya tak pernah menunda memasukkan air dingin ke air panas, hanya mengatur suhunya agar saat dibilas, airnya tetap hangat.

Itu, hanya satu kesalahan kecil yang bisa membahayakan orangtua. Tentu masih banyak kesalahan-kesalahan kecil lain, yang tak hanya dilakukan saya, namun juga orangtua lain terhadap anaknya. Kesalahan, yang kelihatannya sepele tapi bisa berakibat fatal.

Apa saja, 76 kesalahan yang lain?
Selengkapnya dapat dibaca di buku terbaru saya: "Sepele tapi Penting" -- 77 Kesalahan Orangtua yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak". Selain cerita pengalaman dari orangtua, saya pun mewawancarai dokter, apoteker (soal obat) agar buku ini lebih kaya.

Semoga kita, bisa menjadi orangtua yang senang belajar, salah satunya dengan membaca

Salam
Aprilina Prastari
Penulis buku Keluarga dan Komunikasi


Senin, 16 Desember 2013

Jadi Copywriter, Haruskah Selalu Lembur?

Saya tidak mengenal Mita Diran, copywriter yang meninggal dunia  setelah 30 jam bekerja tanpa henti. Namun, sebagai mantan fulltime copywriter, saya merasa ikut berduka dan mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Meninggalnya Mita membuat beberapa kawan bertanya kepada saya. Apakah begitu melelahkannya bekerja di ad agency? Kenapa sampai tidak ada waktu untuk istirahat? Seperti apa kerja copywriter?

Selama kurang lebih delapan tahun, saya bekerja di ad agency. Tak selamanya ad agency tempat saya bekerja selalu menuntut lembur. Ada juga ad agency yang mengharuskan lembur  ketika ada pitching atau deadline yang mendesak. Selebihnya, kami bisa pulang selepas Maghrib.

Namun, di beberapa agency besar dan harus menangani klien yang aktif, lembur memang menjadi makanan sehari-hari. Terlebih ketika harus menangani klien telco. Hampir setiap malam saya pulang di atas pukul 22.00. Seminggu sekali,  pulang bareng maling alias pukul 02.00 dan esoknya eh paginya, harus sampai di kantor lagi pukul 08.30. Kalau telat, potong uang makan. Sedihnya!

Mungkin ada yang bertanya, apa saja yang kami lakukan sehingga harus sering lembur?
Bekerja di ad agency adalah pekerjaan tim. Meski seorang copywriter sudah menyelesaikan tugasnya untuk urusan copy (naskah iklan) tapi bukan berarti pekerjaannya selesai. Ia masih harus berdiskusi lagi dengan pasangannya—art director—presentasi ke creative director-nya. Jika masih ada yang kurang, ya harus direvisi lagi. Belum lagi kalau harus menghadapi deadline yang extra super cepat.

Oh ya, meskipun namanya copywriter, tapi dia juga bukan hanya mengurusi naskah iklan saja, ya. Jadi kalau bertemu dengan iklan yang hanya ada tagline, bukan berarti copywriternya nggak kerja, lho. Karena seorang copywriter juga harus mengonsep hingga akhirnya, iklan itu siap tayang. Artinya, sebelum jadi, ya harus didampingi terus. Kalau buat TVC (TV Commercials), misalnya, seorang copywriter harus ikut sampai editing selesai. Jadi, iklan TV yang 30 detik itu, prosesnya panjang, lho!

Apakah Harus Lembur?

Mungkin tidak, kalau manajemen di agency itu lebih rapi. Seringkali, kita sudah datang pagi, tapi rekan kerja kita datang siang. Mending kalau langsung kerja, karena biasanya ‘pemanasannya’ agak lama. Kadang, mulai benar-benar kerja sesudah makan siang.  Mau tak mau kita harus bisa menyesuaikan diri karena lagi-lagi kerja di ad agency adalah kerja tim.

Hal lain, jika agency melalui bagian traffic-nya bisa tegas mengatur deadline dan memberikan waktu untuk seluruh tim untuk tidak selalu lembur.  Tentu ini membutuhkan pengaturan SDM dan negosiasi ke klien dengan baik.

Asap Rokok yang Menggangggu

Ini agak OOT dari soal lembur, ya. Tapi saya perlu menyampaikan unek-unek saya soal rokok! Untuk saya yang bukan perokok, bekerja di ruangan penuh dengan asap rokok, sungguh menyiksa. Beberapa teman bilang, maaf ya, Pril, nggak enak kalau nggak ngerokok. Idenya nggak keluar! Untunglah saya tak perlu berlama-lama bekerja di agency yang sangat tidak ramah pada orang yang mau sehat itu.

***

Begitulah. Penuh perjuangan untuk bekerja di ad agency. Dan saya selalu bilang kepada mahasiswa-mahasiswa saya untuk siap menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Namun bagi saya, sekeras-kerasnya kita bekerja, selalu ada tujuan, untuk apa kita bekerja. Melihat anak-anak yang sudah semakin besar dan hal lain, awal 2009, saya memutusakan untuk tidak lagi bekerja di ad agency.

Saat ini saya memilih bekerja mandiri. And u know what, banyak hal yang bisa saya lakukan sesudah itu; saya bisa melanjutkan S2, bisa menulis buku, mengajar, menjadi konsultan, dan pastinya, bisa mengatur waktu kapan harus bekerja dan kapan untuk anak-anak.

Meski saya akui, begitu banyak pengalaman, pengetahun,  dan pelajaran yang saya dapatkan selama bekerja di ad agency.

Untuk sahabat-sahabat saya yang masih bekerja di ad agency, terutama ibu, semoga Allah menguatkan kalian J

Salam
Aprilina Prastari

Penulis buku “Seru (nggak)nya Jadi Copywriter”

Rabu, 04 Desember 2013

Survey DNPI: 90% Masyarakat Memilih Pemimpin yang Berkomitmen Terhadap Perubahan Iklim

Hasil dari survey yang dilakukan terhadap 1137 respoden tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap pemanasan global dan perubahan iklim baru sekitar 57%. Bahkan masih ada responden yang beranggapan bahwa perubahan iklim terkait dengan gedung berkaca. Mungkin, kata-kata efek rumah kaca diterjemahkan sebagai gedung berkaca.
Hal menarik lain yang saya cermati dari workshop ini adalah hasil dari dialog interaktif yang memberi gambaran masih kurangnya kesadaran pelajar untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
Saya memang belum banyak mengamati program-program DNPI untuk remaja tapi bisa jadi, kurangnya sosialisasi menjadi salah satu penyebabnya. Dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan remaja, sosialisasi untuk mereka memang tidak bisa dilakukan dengan PSA, terlebih hanya sekadar slogan. Namun, kegiatan yang memungkinkan mereka  terlibat langsung kemudian mempromosikan apa yang sudah mereka lakukan di social media.   Misalnya dengan mengadakan sebuah kompetisi, yang hasil kerja mereka bisa diupload di Youtube, kemudian mereka share melalui FB, Twitter dan media sosial lainnya. Atau, bisa juga dengan mengundang mereka untuk menulis di blog masing-masing.

Terakhir, ada satu hal penting yang perlu menjadi catatan untuk mereka yang berniat mencalonkan diri di 2014 nanti. Menurut survey ini, keinginanan masyarakat untuk memilih pemimpin masa depan yang peduli dan berkomitmen terhadap perubahan iklim sangat tinggi, yakni sekitar 90%. Nah, siapa kira-kira calon pemimpin yang peduli dengan perubahan iklim ya?