Saya tidak mengenal Mita Diran, copywriter yang meninggal
dunia setelah 30 jam bekerja tanpa
henti. Namun, sebagai mantan fulltime copywriter, saya merasa ikut berduka dan
mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
Meninggalnya Mita membuat beberapa kawan bertanya kepada
saya. Apakah begitu melelahkannya bekerja di ad agency? Kenapa sampai tidak
ada waktu untuk istirahat? Seperti apa kerja copywriter?
Selama kurang lebih delapan tahun, saya bekerja di ad
agency. Tak selamanya ad agency tempat saya bekerja selalu menuntut lembur. Ada juga ad agency yang mengharuskan lembur ketika ada pitching atau deadline yang mendesak.
Selebihnya, kami bisa pulang selepas Maghrib.
Namun, di beberapa agency besar dan harus menangani klien yang
aktif, lembur memang menjadi makanan sehari-hari. Terlebih ketika harus
menangani klien telco. Hampir setiap malam saya pulang di atas pukul 22.00. Seminggu sekali, pulang bareng maling alias pukul 02.00 dan esoknya eh paginya, harus sampai di kantor lagi pukul 08.30. Kalau telat, potong uang makan. Sedihnya!
Mungkin ada yang bertanya, apa saja yang kami lakukan
sehingga harus sering lembur?
Bekerja di ad agency adalah pekerjaan tim. Meski seorang
copywriter sudah menyelesaikan tugasnya untuk urusan copy (naskah iklan) tapi
bukan berarti pekerjaannya selesai. Ia masih harus berdiskusi lagi dengan
pasangannya—art director—presentasi ke creative director-nya. Jika masih ada
yang kurang, ya harus direvisi lagi. Belum lagi kalau harus menghadapi deadline
yang extra super cepat.
Oh ya, meskipun namanya copywriter, tapi dia juga bukan hanya mengurusi naskah iklan saja, ya. Jadi kalau bertemu dengan iklan yang hanya ada tagline, bukan berarti copywriternya nggak kerja, lho. Karena seorang copywriter juga harus mengonsep hingga akhirnya, iklan itu siap tayang. Artinya, sebelum jadi, ya harus didampingi terus. Kalau buat TVC (TV Commercials), misalnya, seorang copywriter harus ikut sampai editing selesai. Jadi, iklan TV yang 30 detik itu, prosesnya panjang, lho!
Apakah Harus Lembur?
Mungkin tidak, kalau manajemen di agency itu lebih rapi.
Seringkali, kita sudah datang pagi, tapi rekan kerja kita datang siang. Mending
kalau langsung kerja, karena biasanya ‘pemanasannya’ agak lama. Kadang, mulai
benar-benar kerja sesudah makan siang. Mau
tak mau kita harus bisa menyesuaikan diri karena lagi-lagi kerja di ad agency
adalah kerja tim.
Hal lain, jika agency melalui bagian traffic-nya bisa tegas
mengatur deadline dan memberikan waktu untuk seluruh tim untuk tidak selalu lembur.
Tentu ini membutuhkan pengaturan SDM dan
negosiasi ke klien dengan baik.
Asap Rokok yang
Menggangggu
Ini agak OOT dari soal lembur, ya. Tapi saya perlu menyampaikan unek-unek saya soal rokok! Untuk saya yang bukan perokok, bekerja di
ruangan penuh dengan asap rokok, sungguh menyiksa. Beberapa teman bilang, maaf
ya, Pril, nggak enak kalau nggak ngerokok. Idenya nggak keluar! Untunglah saya
tak perlu berlama-lama bekerja di agency yang sangat tidak ramah pada orang
yang mau sehat itu.
***
Begitulah. Penuh perjuangan untuk bekerja di ad agency. Dan
saya selalu bilang kepada mahasiswa-mahasiswa saya untuk siap menghadapi
tantangan-tantangan tersebut.
Namun bagi saya, sekeras-kerasnya kita bekerja, selalu ada
tujuan, untuk apa kita bekerja. Melihat anak-anak yang sudah semakin besar dan
hal lain, awal 2009, saya memutusakan untuk tidak lagi bekerja di ad agency.
Saat ini saya memilih bekerja mandiri. And u know what,
banyak hal yang bisa saya lakukan sesudah itu; saya bisa melanjutkan S2, bisa
menulis buku, mengajar, menjadi konsultan, dan pastinya, bisa mengatur waktu
kapan harus bekerja dan kapan untuk anak-anak.
Meski saya akui, begitu banyak pengalaman, pengetahun, dan pelajaran yang saya dapatkan selama bekerja
di ad agency.
Untuk sahabat-sahabat saya yang masih bekerja di ad agency,
terutama ibu, semoga Allah menguatkan kalian J
Salam
Aprilina Prastari
Penulis buku “Seru (nggak)nya Jadi Copywriter”