Kamis, 08 Januari 2015

Etika dan Kreativitas dalam Iklan

Minggu lalu, di media sosial, banyak postingan yang mengecam iklan di billboard sebuah brand rokok. Di dalam iklan tersebut, terlihat dua orang remaja, laki-laki dan perempuan, saling berangkulan, dengan posisi wajah laki-laki yang mendekati wajah perempuan, seperti hendak mencium. Ditunjang dengan copy-nya “Mula-mula Mau, Lama-lama Mau”.

Kira-kira, melihat perpaduan visual dan copy seperti itu, apa pesan yang ditangkap masyarakat?
Sepasang kekasih yang sedang pacaran. Perempuannya mula-mula nggak mau dicium lalu mau?
Atau yang lain?

Namun saya dapat memastikan, sebagian besar masyarakat akan menilainya, negatif.

Mereka yang pernah bekerja di ad agency pasti mengerti betapa kuat visual dan copy saling mendukung dan tentu, memiliki pesan yang ingin disampaikan.

Mungkin ada yang mengatakan, “Ya iklan seperti itu, sesuai lah sama TA-nya. Perokok, muda, senang hura-hura.”
Mereka yang punya kepedulian pada generasi muda kemudian menjawab,  ”Oo jadi iklannya memang sengaja dibuat untuk mengajak anak muda melakukan hal yang nggak baik? Jahat banget, dong”
Sebagian pendukung iklan ini mungkin menjawab, ”Sejak kapan iklan harus mendidik? Itu kan kreativitas. Harus peduli?”

Jujur saja. Sempat saya berpikir, apakah mungkin sengaja dibuat agar menimbulkan kontroversi dan ramai diperbincangkan di media sosial?
Namun saya ingat, brand ini bukan brand baru yang tidak memikirkan strategi. Produsennya, juga bukan perusahaan kecil yang tidak mengerti strategi branding. Mereka tentu memahami menjadi brand dibicarakan dalam konteks negatif tentu tidak baik bagi brand itu sendiri.

Moriarty, Mitchell dan Wells di buku “Advertising-Principles and Practice” menjelaskan bahwa pengiklan perlu memiliki self-regulation, terlebih jika itu berkaitan dengan norma-norma yang ada di dalam suatu masyarakat-- kita perlu melihat apa dampak yang akan timbul jika iklan tersebut dipublikasikan.

Masyarakat Indonesia, bagaimanapun, masih peduli dengan kesopanan, kepatuhan terhadap yang boleh dan tidak boleh, khususnya dalam agama. 

Konsep "Go Ahead" yang biasa diusung brand rokok ini tentu dapat diterjemahkan dalam kreativitas yang lain. Jika ingin disukai, mengapa tidak menggali ide dari apa yang dicintai masyarakatnya? Terlebih, ini menyangkut brand, termasuk corporate image produsennya.

Iklan adalah karya. Dan bagi saya, karya yang baik adalah yang bermanfaat, setidaknya tidak meresahkan.



Senin, 05 Januari 2015

Mencetak Generasi Rabbani

Seminar Parenting Nabawiyah

“Mencetak Generasi Rabbani”

(Disarikan dari ceramah Ust. Arifin Nugroho)

Bismillahirrohmaniirrohiim.

Ahad kemarin, 4 Agustus 2014, saya mengikuti seminar parenting nabawiyah di SMPIT As Syifa Boarding School, dengan pembicara, Ust. Arifin Nugroho. Temanya tentang mencetak generasi rabbani.

Sebagai orangtua, siapa yang tak mau memiliki anak-anak yang berakhlak baik, mencintai Allah Swt, dan melaksanakan perintah-Nya? Apalagi, anak merupakan investasi akhirat. Anak bisa membuat orangtua masuk syurga atau neraka. Kita tentu pernah mendengar nasihat bahwa orangtua (meski di dunia rajin sholat dan beramal baik) bisa tertahan masuk syurga karena anak-anaknya tidak ridho. Sebaliknya, orangtua yang amalan baik selama di dunia kurang, dapat sedikit demi sedikit naik derajatnya dan dikurangi siksa kuburnya karena doa dari anak.

Bagaimana doa seorang anak dapat menyelamatkan orangtua di akhirat?
Ust. Arifin bercerita. Suatu hari beliau membaca sebuah buku. Di dalam buku tersebut disebutkan, seorang anak yang mendoakan orangtuanya lima kali dalam sehari termasuk anak “durhaka”.
Wah, kok bisa ya?
Beliau lalu menanyakan maksud dari kalimat tersebut kepada seorang syekh.
Syekh: “Silakan Anda ucapkan doa untuk orangtua”
Ust. Arifin membaca doa pendek tersebut. Syekh memintanya mengulang hingga lima kali.
Syekh: “Apakah Anda lelah mengucapkannya?”
Ust. Arifin: “Tidak”
Syekh: “Apakah perlu usaha keras untuk mengucapkannya?”
UA : “Tidak”
Syekh: “Apakah perlu membayar mahal?”
UA: “Tidak”

Artinya, mendoakan orangtua lima kali sehari tidak cukup untuk membalas apa yang sudah diberikan dan dilakukan oleh orangtua kita. Pengorbanan, kasih sayang yang mereka curahkan tidak cukup dengan mendoakannya lima kali dalam sehari.

Namun, bagaimana jika ada anak yang tidak terbiasa mendoakan orangtuanya? Bagaimana jika mereka tak paham membimbing orangtuanya yang sedang menghadapi sakaratul maut? Bagaimana jika anak-anak lebih dekat dengan dunia dan melalaikan tugasnya sebagai hamba Allah?

Inilah pentingnya orangtua menanamkan kecintaan anak pada Allah Swt. Porsi terbesar membangun karakter dan pondasi keimanan ada pada orangtua. Sekalipun sudah menyekolahkan anak di sekolah Islam bahkan pesantren sekalipun, orangtua tetap yang memiliki andil paling besar.

Lalu, bagaimana menjadikan anak-anak kita sebagai generasi rabbani?

Pertama, niat. Orangtua perlu meniatkan dalam hati, mau seperti apa anak kita nanti. Kalau tujuannya hanya bagus di dunia, itulah yang akan didapat.
Ust. Arifin menggambarkan, ada orangtua yang mengikutkan anaknya dengan berbagai les; piano, bahasa asing, balet, tapi lupa mengajarkan anaknya untuk membaca Al Qur’an dengan baik. Tentu tidak salah untuk mengajarkan anak bahasa atau seni, namun jangan lupa memberikan bekal akhirat untuk mereka.
Kalau orangtua meniatkan anak-anaknya menjadi pejuang Islam, pengusaha muslim yang sukses dan bermanfaat, atau dokter yang peduli pada masyarakat miskin, in syaa Allah bisa menjadi kenyataan.

Kedua, memberi contoh.
Ust. Arifin memberi gambaran bagaimana Rasululloh Saw secara nyata memberi contoh dalam beribadah kepada Allah, begitu juga ketika beliau mencontohkan menjadi pempimpin yang sederhana.
“Jangan sampai kita meminta anak sholat subuh tepat waktu, tapi orangtuanya sholat selalu kesiangan.” :D

Ketiga, kawal dengan doa.
Ada sebuah kisah yang diceritakan kembali oleh Ust. Arifin yang membuat saya makin percaya dan yakin bahwa rizqi dari Allah seringkali tidak bisa dipikir dengan logika.
Beliau bercerita tentang seorang ibu penjual jamu yang memiliki 7 anak dan semuanya menjadi doktor. Empat diantaranya lulusan luar negeri. Masya Allah. Dan, lucunya, ibu ini tidak tahu kalau anaknya menjadi doktor. Yang ia tahu, anak-anaknya tidak selesai-selesai sekolah :D
Ibu penjual jamu ini sempat ditanya, apakah beliau kehabisan harta sepeninggal suaminya (suaminya meninggal ketika ia mengandung anak terakhir), sehingga harus berjualan jamu.
Ibu itu menjawab, “suami saya hanya meninggalkan bakul jamu dan botol-botolnya.”
Kalau dihitung dengan matematika manusia, bagaimana mungkin seorang penjual jamu gendong di pasar bisa memiliki 7 anak dan semuanya doktor. Tapi itulah kuasa Allah.

Doa dan ikhtiar orangtua. Doa yang ikhlas dari orangtua yang tidak habis untuk anak-anaknya ...


(Catatan: berhubung saya tidak mencatat dan merekam perkataan Ust. Arifin, maka sebagian tulisan di atas, ada yang menggunakan kata-kata saya sendiri. Masih banyak cerita dari Ust. Arifin tapi karena keterbatasan daya ingat saya, hanya catatan ini yang dapat saya tulis. Semoga bermanfaat).